1. Pengertian Inteligensi
Dalam membahas fungsi otak terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan psikometri dan pemrosesan informasi. Pendekatan psikometri melahirkan istilah Inteligensi dan IQ (Intelligent Quotient) dan pendekatan pemrosesan informasi melahirkan istilah Kognisi (Cognition). Pendekatan psikometri berdasarkan aspek strukturalnya, sedang pendekatan kognisi berdasarkan aspek prosesnya. Unit analisis dalam pendekatan psikometri adalah faktornya, unit analisis dalam pendekatan kognisi adalah komponen-komponen pemrosesan informasi. Pendekatan psikometri disebut juga teori psikometri, karena basisnya terletak pada studi mengenai perbedaan-perbedaan individu atau diferensiasi dari kemampuan-kemampuan individual yang tersembunyi. Keberadaan kemampuan yang tersembunyi tersebut hanya dapat diidentifikasi melalui teknik matematis yang disebut analisis faktor. Penerapan teori ini dalam tes-tes inteligensi dimulai dengan sebuah matriks interkorelasi atau analisis kovarian. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi sumber-sumber “laten” yaitu variasi yang tersembunyi dalam skor-skor tes yang dicapai. Pada gilirannya variasi tersembunyi ini kemudian diteorikan agar dapat memunculkan variasi-variasi yang dapat diamati dalam skor tes. Sumber-sumber laten yang dimiliki individu yang satu berbeda dari yang dimiliki individu lain, dan disebut faktor-faktor. Jadi perbedaan-perbedaan individu yang satu dengan yang lain yang muncul melalui performansi pada waktu tes-tes inteligensi dapat diubah kembali menjadi faktor-faktor. Masing-masing faktor tersebut mencerminkan kemampuan individu masing-masing.
Pandangan yang lebih representatif yang menggambarkan perbedaan-perbedaan individual adalah pandangan Thurstone (1938 dalam Stenberg, 1985: 5-6). Ia berpendapat bahwa inteligensi terdiri faktor yang jamak (multiple factors), mencakup tujuh kemampuan mental utama (primary mental abilities), yaitu:
a) Pemahaman verbal (verbal comprehension). Kemampuan ini biasanya diukur melalui tes-tes kosa kata, termasuk sinonim dan lawan kata, dan tes-tes kemampuan menyimak bacaan.
b) Kecepatan verbal (verbal fluency). Kemampuan ini biasanya diukur melalui tes-tes yang menuntut kecepatan dan ketepatan menghasilkan kata-kata, misalnya dalam waktu yang singkat mampu menghasilkan sebanyak mungkin kata yang dimulai dengan huruf d.
c) Bilangan (number). Kemampuan ini biasanya diukur melalui pemecahan masalah-masalah aritmatika. Dalam tes ini sangat ditekankan tidak hanya masalah-masalah perhitungan dan pemikiran, tetapi juga penguasaan atas pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
d) Visualisasi spasial (spatial visualization). Kemampuan ini biasanya diukur dengan tes-tes yang menuntut manipulasi mental atas simbol-simbol atau bangun-bangun geometris.
e) Ingatan (memory). Kemampuan ini biasanya diukur melalui tes mengingat kembali kata-kata atau kalimat yang dihafal dari gambar-gambar yang disertai keterangan gambar (kata-kata).
f) Pemikiran (reasoning). Kemampuan ini biasanya diukur melalui tes-tes analogi-analogi (misalnya: Pengacara, Klien, Dokter,…. dan lain-lain), atau rangkaian huruf atau angka untuk diselesaikan (2, 4, 7, 11, …, …., …., ….).
g) Kecepatan persepsi (perceptual speed). Kemampuan ini biasanya diukur melalui tes-tes yang menuntut pengenalan simbol-simbol secara cepat, misalnya kecepatan menyilang atau memberi tanda pada huruf f yang terdapat dalam deretan huruf-huruf (Stenberg, 1985: 5-6).
Howard Gardner (1983, 1993) mengajukan teori inteligensi yang bersifat jamak (multiple intelligence) yang membahas kemampuan otak manusia dan sensitivitasnya terhadap beragam budaya manusia. Gardner mengelompokkan inteligensi ke dalam tujuh kelompok:
(1) inteligensi linguistik (linguistic intelligence), yaitu kemampuan menggunakan bahasa dalam memahami bacaan (the ability to use language in a literary sense),
(2) inteligensi logika matematika (logical mathematical intelligence), yaitu kemampuan memahami dan menggunakan logika, matematika, dan ilmu pengetahuan (logical, mathematical and scientific ability),
(3) inteligensi spasial (spatial intelligence), yaitu kemampuan membentuk suatu model mental dari masalah spasial meliputi kemampuan menggerakkan dan mengoperasionalkannya sesuai dengan model tersebut (the ability to form a mental model of spatial world including the ability to manuver and operate it according to the model), (4) inteligensi musik (music intelligence), yaitu kemampuan menggunakan bahasa musik (the ability to use the languages of music),
(5) inteligensi kinestik-tubuh (bodily-kinesthetic intelligence), yaitu kemampuan memecahkan atau melihat masalah dengan cara menggunakan bagian-bagian badan atau seluruh badan (the ability to solves problems on to fashion them using parts of the body or the whole body),
(6) inteligensi interpersonal (interpersonal intelligence), yaitu kemampuan memahami orang lain dan motivasi-motivasi mereka, dan kemampuan mengetahui bagaimana bekerja sendiri atau bekerjasama dengan orang lain (the ability to understand other people and their motivations, and to know how to work alone or cooperatively with others),
(7) inteligensi intrapersonal (intrapersonal intelligence), yaitu kemampuan yang berkaitan dengan cara melihat ke dalam diri dan kapasitas untuk membentuk model yang akurat dan jujur mengenai diri sendiri yang dapat digunakan untuk menjalani hidup secara efektif (a correlative ability turned inward and a capacity to form an accurate and truthful model of self that can be used to operate effectively in life) (Khatena, 1992: 77-78).
2. Pengertian Kognisi (Pemrosesan Informasi)
Sebagaimana telah dijelaskan didepan bahwa dalam pembahasan tentang inteligensi terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan psikometri dan kognisi atau pemrosesan informasi. Demikian pula pembahasan proses mental terdapat beberapa pendekatan diantaranya pendekatan perilaku yang dikemukakan kaum behaviorisme, dan pendekatan kognisi atau pemrosesan informasi.
a. Pendekatan Kognisi
Menurut Darlene V. Howard (1983) pandangan dari pendekatan kognisi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, pendekatan kognisi lebih menekankan pada cara mengetahui (knowing) dan bukan cara memberikan respon (responding). Pendekatan ini memilik kecenderungan untuk menemukan cara ilmiah dalam proses mental seorang individu dalam upaya memperoleh penguasaan (acquisition) dan pengaplikasian (application) pengetahuan. Ini berarti penekanan pendekatan kognitif bukan terletak pada hubungan stimulus-respon tetapi pada apa yang terjadi dalam proses mental tersebut. Atau dengan kata lain lebih banyak mempergunakan pikiran (mind) dan bukan dengan tindakan/perbuatan (behavior). Descartes menyatakan: Cogito Ergo sum (“Saya berpikir, karena itu saya ada”), dan bukan “Saya berbuat/bertindak, maka saya ada”.
Selanjutnya menurut Howard (1983) selain bahwa kognisi memiliki tiga ciri sebagai telah diuraikan di atas, teori kognisi, yang dapat juga disebut sebagai teori pemrosesan informasi, memiliki tiga asumsi sebagai berikut:
Pertama, asumsi yang menyatakan bahwa antara stimulus dan respon terdapat rangkaian tahapan pemrosesan (a series of stages of processing) yang tiap tahapnya memerlukan jumlah waktu yang pasti.
Kedua, asumsi yang menyatakan bahwa jika stimulus diproses melalui tahapan tersebut, maka bentuk dan isi (form and content) stimulus diasumsikan telah melalui sejumlah tahapan perubahan atau transformasi.
Ketiga, asumsi yang menyatakan bahwa setiap tahapan dari sistem pemrosesan memiliki kapasitas terbatas, dalam arti adanya batasan dalam jumlah pemrosesan yang dilakukan secara berkesinambungan. Menurut pendekatan pemrosesan informasi ini, penentuan rangkaian tahapan yang membentuk satu kognisi dan penentuan sifat dari perubahan atau transformasi yang terjadi pada tahap tersebut, sangat penting untuk dapat memahami sifat kognisi manusia.
b. Teori Pemrosesan Informasi
Pemrosesan informasi merupakan suatu sistem yang terdiri tiga subsistem yaitu: Register Sensorik (Sensory Registers), Memori yang bekerja (Working Memory), Memori Jangka Panjang (Long – Term Memory) (Howard, 1983).Dalam pemrosesan informasi, dijelaskan oleh Howard (1983) dan Atkinson & Shiffrin (dalam Berk, 1989, dalam Djiwatampu, 1993) bahwa pemrosesan informasi terdiri 3 subsistem yaitu register sensorik (sensory registers), memori yang bekerja (working memory) atau memori jangka pendek (short-term memory) dan memori jangka panjang (long-term memory). Fungsi register sensorik adalah menyimpan informasi walaupun dengan durasi waktu yang sangat singkat. Fungsi memori yang bekerja adalah menyimpan informasi dalam waktu yang lebih lama; terutama bila dilakukan latihan (rehearsal), maka informasi tidak mudah dilupakan. Penyimpanan informasi tidak dalam bentuk aslinya, tetapi dengan pengkodean (coding). Memori jangka panjang berfungsi menyimpan informasi secara permanen (tetap), dan fungsi paling pentingnya adalah melakukan semantik (semantic) atau pemberian makna terhadap suatu memori. Di samping itu juga memori jangka panjang berfungsi melakukan pengkodean (coding) dan berfungsi sebagai prosedur (procedures) atau proses kontrol. Fungsi sebagai prosedur ini dapat disamakan dengan komputer. Komputer tidak hanya berfungsi menyimpan data tetapi juga sebagai program memanipulasi data sehingga memori jangka panjang mampu memecahkan masalah dalam berbagai bidang. Atau dengan kata lain melakukan proses kontrol (control processes) yang dapat dianalogikan dengan program komputer yang mengontrol alur informasi sehingga informasi disimpan dalam memori jangka panjang, dan dapat digunakan bila diperlukan. Memori jangka panjang juga merupakan strategi memecahkan masalah, mengingat kembali (recalling), memahami dan menghasilkan bahasa. Dalam pemrosesan informasi ini ada fungsi yang lain lagi yang disebut pengenalan pola (pattern recognation) yang intinya berfungsi melakukan identifikasi susunan stimulus sensorik yang kompleks.
3. Pengertian Metakognisi (Metakomponen)
Menurut Baker dan Brown (1984 dalam Hamilton & Ghatala, 1994: 132), ada dua macam tipe metakognisi, yaitu:
1) Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition)
2) Pengaturan kognisi (regulation of cognition)
Pengetahuan tentang kognisi meliputi pengetahuan seseorang tentang sumber daya (resources) kognisinya sendiri, dan kesesuaian antara karakter pribadi seseorang pembelajar dengan situasi belajar. Baker dan Brown berpendapat bahwa pengetahuan tentang kognisi bersifat stabil sepanjang waktu. Pengetahuan tentang kognisi merupakan suatu bentuk pengetahuan deklaratif. Baker dan Brown juga berpendapat bahwa pengetahuan kognisi seseorang berkembang terlambat dibandingkan usianya, dan menjadi lebih sempurna pada usia yang lebih tua (Baker & Brown, 1984: 354 dalam Hamilton & Ghatala, 1994: 132).
Sedang pengaturan kognisi merupakan mekanisme pengaturan diri yang digunakan oleh siswa yang aktif selama memecahkan masalah. Pengaturan kognisi meliputi aktivitas mengecek hasil dari setiap usaha memecahkan masalah, merencanakan aktivitas berikutnya, memonitor efektivitas dari setiap usaha dengan melakukan pengetesan, melakukan perbaikan dan evaluasi dari strategi belajar siswa (Baker & Brown, 1984: 354 dalam Hamilton & Ghatala, 1994: 132). Pengaturan kognisi bersifat tidak stabil, karena siswa mungkin menggunakannya dalam beberapa kesempatan tetapi tidak dalam kesempatan lain. Pengaturan kognisi merupakan bentuk pengetahuan prosedural. Walaupun pengaturan kognisi lebih sering digunakan oleh anak yang lebih tua atau orang dewasa, tetapi anak muda dapat mengatur aktivitasnya sendiri pada masalah yang sederhana.
Pandangan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
DAFTAR PUSTAKA:metakognisi merupakan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang kognisinya sendiri serta kemampuan mengatur proses kognisinya. Pengetahuan metakognisi meliputi pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional. Pengaturan proses kognisi mempunyai tiga macam fungsi esensial yaitu merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi proses kognisi agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Prabowo, Hendro.1998. Psikologi Umum 2. Jakarta: Universitas Gunadarma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar